Sesuai petunjuk yang diberikan, aku turun
dari sebuah bus kota di sebuah halte. Tidak seperti halte pada umumnya yang
dimanfaatkan sebagai naik turunya penumpang. Halte ini benar-benar tidak
nyaman, yang ada hanya beberapa orang gelandangan beristirahat setelah melewati
siang dalam pertarungan hidup yang mereka lakoni. Tidak ada yang salah dengan
semua ini, mungkin saja penumpang lebih senang turun disimpang-simpang atau
jalanan yang terlarang untuk menurunkan penumpang karna lebih dekat dengan
tujuan mereka, dan daripada tempat itu mubadzir para gelandangan telah
memanfaatkanya dengan baik. Aku memilih halte sebagai pemberhentian terakhir
karena masih harus melanjutkan perjalanan.
Disalah satu sudut halte itu, aku duduk untuk
menunggu mobil yang akan menjemputku. Hampir 30 menit jemputan itu belum tiba
juga, aku yang sudah bosan menunggu sesekali beradu pandang dengan para
gelandangan itu, pandangan mereka sangat sinis
sepertinya mereka mengatakan “dasar
pria cengeng, baru 30 menit ! “, ya...
whatever !, namun setidaknya dari pandangan itu, pandangan yang
membinar-binarkan ketegaran hidup, aku mendapatkan energi kembali untuk sabar
menunggu. Mungkinkah mereka juga mengatakan “ nikmatilah waktu ketika masih dapat menunggu karena akan tiba saatnya
penantian harus dikubur dalam dalam”.
Akupun berkedip tanda setuju...
***
Inilah sebuah kebiasaan buruk yang kumiliki,
lagi-lagi tidak teliti dalam membaca pesan. Setelah dibaca kembali pesan masuk
terakhir dari seorang sopir yang akan menjemput, bahwa mereka menunggu disalah satu tempat perbelanjaan tidak jauh dari
halte tersebut. Aku pun menuju kesana dan merekapun telah tiba 30 menit yang
lalu, kami pun saling memaklumi.
Aku yang semula sudah menduga bahwa sopir tidak
datang sendirian karena pesan yang dikirim berulang kali mengatakan “Kami”, tetapi aku tidak menduga bahwa si
sopir datang dengan seorang wanita yang berkerudung panjang, anggun, elegan dan
berwibawa. Perempuan itu adalah Aisyah. Aisyah ikut untuk berbelanja kebutuhan
persiapan rapat dan tentu bukan untuk menjemputku.
Mobilpun melaju ke tempat tujuan. Selama
diperjalanan aku dan sopir berkomunikasi intens
saling memperkenalkan diri, namun tak sepatah katapun yang keluar dari mulut
Aisyah. Sesekali aku melihat kebelakang untuk memastikan paras yang dimiliki
Aisyah, Asyiah pun berkali-kali menunduk dan memalingkan wajah, hanyalah
kerudung panjang dan siluet cahaya dari balik jendela mobil hal yang bisa
kupandangi kala itu.
***
Sore itu adalah rapat persiapan pernikahan
kak Irji. Kak Irji adalah kakak angkatku, orang yang telah membawaku ke kota
ini. Dia sangat berjasa bagiku.
Aku bangga kepada kak Irji, dia adalah
lulusan terbaik di salah satu Universitas terkemuka di Negeri ini dan
mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi s3. Kurasa layak jika dia
mendapatkan Kak Sonya, seorang perempuan dari keluarga tersohor di kota ini.
Aku pun sengaja datang kesana karena mewakili kar Irji yang kebetulan
berhalangan hadir hari itu.
Dan Aisyah adalah adiknya kak Sonya.
***
Harusnya aku sadar dari awal bahwa Aisyah
adalah nama yang tak perlu masuk dalam kisahku. Sebab aku bukanlah kak Irji
dengan segala keistimewaanya.
Aisyah adalah seorang hafidzah, sementara aku
yang membaca surat-surat pendek dengan terbatah-batah.
Aisyah terlahir dari keluarga besar yang
agamis, sementara aku pemuda yang terlahir dari alam liar yang pada saatnya
pernah melewati masa pencarian makna Ketuhanan.
Dan Fakta-fakta itu adalah senjata ampuh membuat
hati ini menjadi lebih tenang.
*****
Uhm, entah apa yang terjadi dengan hari ini,
baru saja aku melihat seorang nenek melintas dijalanan tanpa bantuan seorang
pun, sementara di media massa cetak dan elektronik ; proses pengadilan Tipikor yang berbelit-belit menjadi isi
disetiap lamanya.
Aku yang sumpek menjadi bagian dari hari ini
kemudian membuka berbagai akun sosial media yang kumiliki untuk sekedar
berelaksasi. Sungguh Ironis disetiap sosial media hampir semua orang
mengucapkan “ Selamat Hari Pahlawan !!! “ , aku pun tak sadar kalau hari ini
adalah tanggal 10 November. Nampaknya semua sepakat untuk bangga kepada
pahlawan tetapi seperti apakah refleksi dari kebanggaan tersebut ? ya...mungkin
sekedar teriakan “ aku bangga ! “ no more
!!!....sembari melewatkan tua yang
tergopoh-gopoh menyebrangi jalan, sembari saling berkilah dan tuding menuding
di Pengadilan untuk mencari pembenaran.
“ Selamat
Hari Pahlawan ! Aku bangga ! “ :(
10 November itulah tanggal yang disakralkan
karena sebuah pertempuran hebat di Surabaya kala itu yang mengorbankan banyak
jiwa demi mempertahankan dwi warna tetap jaya di angkasa raya.
Tetapi bagiku 10 November mempunyai dimensi
lain yang cukup mengharukan meski tak seharu pertempuran itu.
Hari ini ! mengingatkanku kepada sebuah kisah, kisah yang telah tiba saatnya harus dikubur dalam-dalam.
Hari ini ! mengingatkanku kepada sosok itu, sosok yang telah menskenario segala suatu tentang rencana itu. Ialah Sosok Umi, ibunda Aisyah, orang yang telah membawaku untuk berkelana dalam kisah lara sampai kepada tepianya.
Umi Selamat Ulang Tahun !
Saat saat Indah tak kan terlupakan !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar